Pada 2010, setelah bertahun-tahun kerja di Aceh, Indonesia, saya diminta untuk mengelola mekanisme hibah kecil USAID di Papua dan Papua Barat (selanjutnya disebut Tanah Papua). Bagi saya, Tanah Papua adalah sebuah misteri. Bagi sebagian orang Indonesia, Papua adalah tempat yang penuh kemiskinan dan tidak beradab. Sedangkan bagi orang asing, Tanah Papua adalah sebuah wilayah yang sulit ditembus, terbatas untuk orang asing, di mana pemerintah, melalui aktor keamanannya, mengeksploitasi sumber daya alam yang melimpah di kawasan itu, membunuh orang-orang di sana baik dalam menanggapi keluhan mereka atau hanya karena mereka adalah orang Papua. Setelah bekerja dengan para mantan Gerakan Aceh Merdeka yang telah demiliterisasi, dan mendengar cerita-cerita mereka tentang pembunuhan dan penyalahgunaan yang dilakukan aktor keamanan, saya tidak ragu bahwa Papua akan seperti itu.
Lalu berangkatlah saya ke Tanah Papua.
Lima tahun saya di Tanah Papua dengan USAID, mengelola dana untuk kesehatan dan pendidikan melalui LSM dan kelompok masyarakat. Setelah berhenti dari USAID saya pindah ke Bank Dunia, di mana saya adalah satu-satunya perwakilan instansi tersebut di Papua. Pekerjaan ini membuat saya harus keliling seluruh Tanah Papua. Apa yang saya saksikan tidak membuktikan terjadinya teror dan genosida seperti yang sering saya baca. Laporan-laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia berskala luas yang diceritakan sebagai berita terkini, malah, sebenarnya, adalah berita lama. Pembunuhan yang terjadi pada akhir 1970-an dan pada akhir "Musim Semi Papua", telah berakhir. Tanah Papua, seperti daerah lain di Indonesia, dibanjiri korupsi, tetapi yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia, korupsi di Tanah Papua membuat seluruh sistem berhenti dan tidak berfungsi. Tanah Papua dibanjiri uang dan akibatnya seluruh kelas elite pribumi dapat dibeli. Tanah Papua tidak berciri sistem penindasan otoriter: Tanah Papua memang penuh dengan kekerasan - antara suami dan istri, antara keluarga besar dan antara klan, bahkan antara gereja-gereja saingan. Kekacauan ini ditoleransi oleh negara, karena selama kekerasan itu terjadi dan tidak tertuju pada negara, negara tutup mata. Akan tetapi, ketika kekerasan oleh masyarakat Papua diarahkan pada negara, pembalasan dari sektor keamanan yang kurang terlatih adalah seperti yang diharapkan (yang saya pernah tulis di sini). Negara memiliki kebijakan mengenai ekstraksi sumber daya alam yang jelas, tetapi tidak ada kebijakan yang jelas terhadap orang Papua. Bagi saya, penolakan layanan ini, dan tentu saja kewarganegaraan, adalah benar-benar penyalahgunaan hak yang sistematis. Di Tanah Papua hal ini mungkin ekstrem, tetapi hal ini juga ditemukan pada tingkat yang lebih rendah hampir di seluruh Indonesia.
Itu sebabnya saya mulai menulis tentang segala kerumitan yang saya lihat di Tanah Papua, baik di Inside Indonesia maupun di publikasi lain. Ini memuncak dalam publikasi saya di East West Center, "Papua’s Insecurity: State Failure in the Indonesian Periphery" (Ketidakamanan Papua: Kegagalan Negara di Pinggiran Indonesia).
Hampir sembilan tahun sejak saya mulai bekerja di Papua, tidak ada perubahan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari orang Papua. Sistem kesehatan dan pendidikan di daerah-daerah tetap tidak berfungsi, orang Papua dikeluarkan dari peluang ekonomi di pasar kerja yang didominasi pendatang, korupsi adalah hal biasa yang merusak, dan sektor keamanan tetap keras serta tidak bertanggung jawab pada siapa pun. Kebijakan pembangunan pemerintah sipil masih fokus pada ekstraksi sumber daya alam melalui pembangunan jalan; Masyarakat Papua tetap terabaikan. Dan yang mengejutkan, tulisan saya sejak saat itu masih relevan sampai hari ini, dan dapat digabungkan dengan tulisan-tulisan generasi sebelumnya, yaitu penulis yang dilupakan sejak Dana UNDP 1967 “Rencana Pembangunan Irian Barat” dan bahkan sebelumnya juga.
Maka, saya mengumpulkan artikel-artikel ini, dengan harapan, artikel-artikel ini, entah bagaimana, bisa bermanfaat.
2015
Author(s): Bobby Anderson
Publisher: Kompas Gramedia
Year: 2015
Language: Indonesian
Commentary: decrypted from 140DFC777B212530E415A348FDDF7D7E source file
Pages: 132
City: Jakarta
Tags: Indonesia, Papua, Irian Jaya, pendidikan, kesehatan, pembangunan sosial, konflik
01. Hidup Tanpa Negara
02. Meneropong Sistem Pendidikan
03. Mati Sia-Sia
04. Basa-Basi Papua
05. Cerita Kelaparan Massal
06. Penonton yang Bingung dan Masalah Politik di Tolikara
07. Transmigrasi adalah Hal Terakhir yang Dibutuhkan Masyarakat Papua
08. Saatnya Jakarta Menghargai Martabat Orang Asli Papua yang Sudah Sepatutnya Mereka Dapatkan
09. Tentang Penulis
10. Ucapan Terima Kasih